Jumat, 25 Desember 2015

Galau-Galau wartawan Bolmong

Galau-galau wartawan Bolmong
“Belenggu itu bernama kontrak pencitraan”. Begitu tulis salah satu teman baik/senior saya dalam status Blackberry Masengger (BBM) dan akun twitter miliknya siang kemarin. Tentu sebagai penikmat dan punya hobi berselancar di berbagai media sosial, status maupun pesan sejenis itu adalah santapan siang yang harus dikomentari dan dikejar apa maksud dari kalimat yang jelas- jelas gambaran betapa kondisi hati teman ini sedang “galau”.

Tak berlama- lama, sebelum pilihan mandi siang diambil, menelepon teman yang kebetulan seorang jurnalis di Biro Bolmong itu adalah pilihan paling terbaik kala itu. Tujuannya satu, mengorek atau sekedar “ba karlota” apa yang membuat teman/senior di organisasi mahasiswa ini menulis status demikian. Sebab bertahun- tahun berteman lebih dari saudara, saya paham betul teman ini tak pernah menulis kalimat- kalimat kegalauan di media sosial atau ruang yang jadi konsumsi publik.

Sekira 20 menit bercakap lewat telepon, teman ini dengan terbuka, menjelaskan sebab musabab menulis status seperti itu. Ternyata apa ditulis lewat status itu tak lebih dari ungkapan kegelisahannya dengan berita- berita yang selama ini dia dan kawan- kawan jurnalis lain di Bolmong tulis terkait jalannya roda pemerintahan dan kebijakan di daerah itu.

“Sekarang hampir semua jurnalis di Bolmong sudah tersandera dan tak bisa lagi menulis berita yang dianggap negatif oleh pemkab. Fakta maupun data- data penyimpangan yang nyata- nyata telah diketahui publik, seperti dugaan korupsi reses DPRD Bolmong, dugaan korupsi proyek jembatan Motabang, dugaan korupsi dana audiens bupati dan wakil bupati, serta dugaan korupsi Rp12 miliar, tak pernah lagi diberitakan. Kalau beritakan itu, pemkab akan memutuskan kontrak pencitraan dan kantor akan marah ke wartawan. Itu bikin saya dan kawan- kawan resah dan merasa kemerdekaan sebagai seorang jurnalis sudah terkekang,” ungkap teman ini.

Apa diungkapkan teman saya ini adalah sebuah keresahan hati yang timbul akibat kebijakan kantor media tempat kerja yang sudah tak menjadikan Undang- Undang Nomor 40 Tentang Pers sebagai landasan dalam menjalankan aktifitas medianya. Hampir seluruh kantor media di Sulawesi Utara (Sulut) bahkan yang mengklaim independen sekalipun sekarang menerapkan pola kontrak dengan seluruh pemkab/pemkot untuk mengumpulkan pundi- pundi rupiah. Ada terang- terangan, dan beberapa lagi “pura-pura terpaksa”.

Pemilik media atau mereka yang duduk- duduk di kantor dan mengatur segala bentuk aktivitas perusahaan mungkin tak lagi pernah memikirkan bahwa kebijakan mengharuskan kontrak pencitraan telah merampas kemerdekaan wartawan, dan telah menghilangkan fungsi kontrol sebagaimana amanat UU Pers.    
 
Sebagai pilar keempat demokrasi, media memiliki tanggung jawab besar, berhak, dan wajib mengontrol jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bukan sekedar memberitakan riuh- riuh politik, ulah pejabat publik, dinamika ekonomi terkini, atau informasi “palsu” atau yang sengaja diadakan untuk memenuhi jumlah berita kontrak sebagai pertanggungjawaban administrasi mengeruk uang rakyat di kas daerah.

Apa yang dituliskan teman baik saya lewat statusnya bahwa “Belenggu itu bernama kontrak pencitraan” harusnya menjadi dasar introspeksi seluruh pemilik dan pengelola perusahaan media di Sulut untuk merubah sistem dan sumber utama pendapatan. Sebab sebagian bahkan hampir semua wartawan sudah gerah dan ingin berontak.

Sistem kontrak pencitraan dengan pemkab/pemkot sebenarnya menjelaskan dengan telanjang bahwa perusahaan media dengan sengaja telah “menghalalkan” wartawan untuk “melacurkan” profesi mulia ini demi pundi rupiah. Sistem ini telah membuat fakta bisa diputarbalikan. Sistem itu pula melahirkan banyak wartawan instant yang ke sana ke mari dengan gagah menenteng tanda pengenal (kartu pers), padahal standar pengetahuan dan keterampilan sebagai seorang wartawan tak punya. Dan paling parah, demi sebuah kontrak pencitraan, lahir pula banyak media “abal-abal” yang secara terang- terangan hanya hadir untuk mengeruk uang APBD.  

Perlu diingat media tidak terbebas dari cermatan, selisikan, pantauan, dan penilaian publik. Menghilangnya pemberitaan mengenai fakta dan data- data penyimpangan baik di Pemkab dan DPRD Bolmong selama ini, bukan tidak mungkin akan menurunkan kepercayaan bahkan gugatan orang ramai kepada seluruh media di Sulut. Jika itu terjadi, tamatlah seluruh media di Sulut.
 
Mungkin sudah saatnya Badan PemeriksaKEUANGAN (BPK) membuat rekomendasi larangan kepada seluruh pemkab/pemkot untuk tidak menganggarkan sepeser pun uang di APBD untuk kontrak dengan media. Dan kepada teman baik saya, jika sistem kontrak pencitraan dengan Pemkab Bolmong masih tetap dilakoni oleh media tempatmu bekerja, saran saya segeralah berhenti di media itu dan merdekalah dari keterhinaan.

Meski bisa dihitung dengan jari, saya percaya masih ada media di Sulut ini dan pewartanya yang benar- benar bekerja independen, profesional, kompeten, kredibel, dan etis, hingga apa yang ditulis dan disajikan adalah fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar